MENGUAK ESENSI PENGAKUAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA : KUNCI SUKSES DI RUANG PERADILAN
Muhammad Nasir,S.H.I.,M.H (Wakil Ketua)
Pengadilan Agama Tanjung Selor
Pendahuluan
Pengakuan disebut sebagai salah satu alat pembuktian/bukti (bewijsmiddel) berdasarkan pasal 1866 KUH Perdata jo. Pasal 284 R.Bg, yaitu : bukti tertulis; bukti saksi; persangkaan; pengakuan; dan sumpah.
Setiap alat bukti, tentunya harus tunduk pada aturan hukum pembuktian yang merupakan salah satu bagian penting dan tak terpisahkan dengan hukum acara perdata, bagi penulis alat bukti adalah sesuatu yang diajukan oleh pihak pada acara pembuktian di persidangan untuk membenarkan/mendukung dalil tentang telah terjadinya suatu peristiwa dan atau tentang adanya suatu hak. Dari konsep sederhana ini dapat ditarik untuk diketahui beberapa hal bahwa alat bukti itu adalah atau dapat pula dimaknai ciri-ciri alat bukti adalah: 1. alat bukti diajukan oleh para pihak, 2. pada acara pembuktian di persidangan, 3. untuk membenarkan/mendukung tentang suatu peristiwa dan atau tentang suatu hak.
Ditinjau dari sifat dan bentuknya, Yahya Harahap tidak menyebut pengakuan sebagai alat bukti dengan alasan-alasan yaitu; Pertama, pengakuan tidak dapat diajukan pada acara pembuktian karena tidak berwujud fisik. Kedua, Hakim tidak dibenarkan memberi pendapat tentang obyek pengakuan, karena dengan pengakuan para pihak telah menentukan sendiri penyelesaian perkaranya. Ketiga, pengakuan membuat Hakim terikat untuk memutus perkara berdasar pada pengakuan tersebut. Namun Prof.Dr.R.M Sudikno Mertokusumo,S.H. berpendapat lain bahwa alat bukti ditentukan dari sifatnya tidak ditentukan oleh kenyataan apakah diajukan atau tidak.
Sebagai salah satu alat bukti yang disebutkan pada pasal 1866 KUH Perdata jo. Pasal 284 R.Bg, idealnya pengakuan pun harus memenuhi unsur pada konsep atau harus memiliki ketiga ciri diatas secara kumulatif untuk dapat disebut/ dikualifikasi sebagai alat bukti. Dan memang pada hal-hal tertentu unsur-unsur pada konsep atau ketiga ciri alat bukti diatas dapat saja terpenuhi secara kumulatif sehingga eksistensi pengakuan sebagai alat bukti adalah patut. Namun tidak pada semua hal, karena pada hal tertentu ketiga unsur pada konsep dan ciri tersebut diatas terdapat salah satu, dua dan atau bisa saja ketiganya tidak terpenuhi sama sekali, contohnya pada acara jawab - menjawab, replik-duplik, sudah umum di temui salah satu pihak mengakui dalil gugatan pihak lain baik pengakuan secara murni maupun pengakuan secara berklausul. Pengakuan disini adalah menjawab dalil gugatan tidak dalam rangka pengajuan alat bukti dan juga belum pada acara pembuktian.
Jika keadaan pada contoh diatas dihubungkan dengan ketiga unsur pada konsep/ciri alat bukti, terdapat 2 konsep/ciri alat bukti yang tidak terpenuhi yaitu : tidak diajukan oleh pihak, tidak pada acara pembuktian, meskipun dapat saja membuktikan/membenarkan dalil gugatan pihak lain namun tidak pada jenis perkara seluruhnya, seperti yang berkaitan dengan perkara waris tentu tidak dapat dijadikan sebagai pembenar/pendukung dalil pihak lain tentang suatu peristiwa dan atau hak, dengan demikian ketiga unsur pada konsep/ciri alat bukti tidak ada yang terpenuhi.
Berdasarkan pemaparan diatas penulis tertarik menguak esensi pengakuan dalam hukum acara perdata: kunci sukses di ruang Peradilan, hal ini penting untuk diketahui karena pengakuan kerap menjadi dasar penjatuhan putusan oleh Hakim (baca : Majelis)
Defenisi dan Prinsip Umum Pengakuan
Defenisi pengakuan menurut penulis adalah pernyataan sepihak tentang pembenaran peristiwa, yang berakibat pada pelepasan hak dirinya dan atau penerimaan kewajiban untuk pihak lain. defenisi ini saya dasarkan pada hal sebagai berikut :
1. Pengakuan adalah suatu pernyataan sepihak yang tidak membutuhkan persetujuan pihak lain;
2. Jika salah satu pihak mengakui dalil-dalik tentang suatu peristiwa maka peristiwa tersebut patut dinyatakan benar terjadi/suatu fakta;
3. Jika pengakuan tersebut tentang sengketa maka pengakuan pihak tersebut berimplikasi pada pelepasan haknya;
4. Jika pihak mengakui maka itu berarti suatu kesanggupan menerima atau melaksanakan suatu kewajiban kepada pihak lain.
Definisi Pengakuan tersebut diatas terfokus tentang peristiwa dan hak, dengan alasan, sebab tujuan pembuktian berdasarkan pasal 283 R.Bg jo. 1865 KUH Perdata menyatakan “ Barangsiapa menyatakan mempunyai suatu hak atau menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah adanya hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu”, adalah untuk membuktikan adanya hak dan atau peristiwa. Dan memang hal-hal yang dapat dibuktikan “Quod Erat Demostrandum” dewasa ini adalah peristiwa “factum” dan hak “ius”
Pengakuan (ikrar) adalah suatu pernyataan sepihak dari Penggugat atau Tergugat atau pihak-pihak lainnya mengenai ada tidaknya sesuatu yang tidak memerlukan persetujuan orang lain. Abdul Kadir Muhammad menyatakan pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebahagian dari apa yang dikemukan oleh pihak lawan.
Defenisi pengakuan yang berbeda adalah menurut Andi Yusuf Bakri, yang memaknai pengakuan sebagai bentuk lain dari kesepakatan. bahwa dengan mengakui dalil gugatan maka pihak tersebut sepakat / menyepakati terhadap segala yang didalilkan oleh pihak lain terhadapnya dengan demikian pengakuan harus tunduk pada aturan dasar perjanjian yaitu :
1. Bukan didasarkan pada kepalsuan atau hal yang dilarang (Vide, Pasal 1335 KUH Perdata)
2. Tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. (Vide, Pasal 1335 KUH Perdata)
3. Tidak merugikan pihak ketuga (Vide Pasal 27 ayat 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016)
Pada prinsipnya para pihak dapat mengakui apa saja yang didalilkan oleh pihak lain. Tetapi pengakuan itu lazimnya berkaitan dengan hak dan fakta atau peristiwa.
Terhadap suatu pengakuan dari pihak, tidak semuanya dapat langsung disebut pengakuan, suatu pengakuan dapat dikualifikasi dan diterima sebagai suatu pengakuan bilamana memenuhi prinsip-prinsip umum hukum yaitu sebagai berikut:
1. Prinsip Kesukarelaan
Pentingnya kebebasan dalam memberikan pengakuan sehingga dapat diyakini pengakuan tersebut merupakan ungkapan yang benar, dalam pasal 1321 KUHPerdata disebutkan “bahwa tiada sepakat yang sah jika sepakat itu diberikan karena kekhilfan, atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”. mendasarkan prinsip kesukarelaan pada pengakuan di pasal ini meskipun tidak ada nomenklatur pengakuan didalamnya adalah dengan merujuk pada defenisi pengakuan yang dimaknai kerelaan melepaskan hak dan atau kesanggupan melaksakan kewajiban dapat dibaca menyepakati, dengan demikian segala syarat kesepakatakan pada pasal diatas ditarik menjadi salah satu prinsip pengakuan yaitu adanya kerelaaan.
2. Prinsip Konsistensi
Pengakuan harus konsisten dengan fakta-fakta yang ada dalam perkara dan tidak bertentangan dengan pengakuan sebelumnya, prinsip ini untuk menjaga konsistensi dalam penilaian bukti oleh Hakim. Dalam “doktrine of consistency” doktrin yang sering digunakan dalam proses pembuktian untuk menilai keandalan saksi atau pihak yang memberikan pengakuan, dinyatakan bahwa jika seseorang memberikan pengakuan tertentu disuatu waktu, maka mereka diharapkan untuk tetap konsisten dengan pengakuan tersebut diwaktu-waktu berikutnya, kecuali ada alasan yang kuat untuk perubahan tersebut.
3. Prinsip Relevansi
Pengakuan harus relevan dengan pokok perkara bahkan menjadi hal pertama yang harus diperhatikan.Teori pembuktian mengajarkan bahwa suatu alat bukti dapat dipergunakan sebagai alat bukti dipersidangan dengan syarat-syarat diantaranya adalah “relevance” dengan intrepretasi peranalogian dibaca bahwa Pengakuan dalam kualifikasi alat bukti pun harus tunduk pada teori pembuktian, bahwa untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti di Persidangan maka suatu pengakuan harus relevan dengan pokok perkara.
4. Prinsip Kepastian Hukum
Pengakuan harus memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berpekara, prinsip ini menjamin bahwa pengakuan adalah salah satu alat bukti yang dapat dipertimbangkan.
Esensi dan Larangan Pengakuan
Pengakuan sebagai alat bukti,
Berdasarkan Pasal 1866 KUH Perdata jo. Pasal 284 R.Bg, pengakuan sebagai salah satu alat bukti, Pasal 1925 KUHPerdata menyatakan “Pengakuan yang diberikan dihadapan hakim merupakan bukti yang sempurna terhadap orang yang memberikannya, baik sendiri maupun dengan perantaraan seseorang yang diberi kuasa untuk itu.”
Putusan Mahkamah Agung Nomor 497 K/SIP/1971 tanggal 1 September 1971, menyatakan “Adanya pengakuan Tergugat dianggap gugatan telah terbukti”. Atau putusan Nomor 965 K/SIP/1971 yang pada intinya menyatakan bahwa adanya pengakuan dari Tergugat, berarti gugatan Penggugat dianggap terbukti. Dengan demikian maka Pengakuan berkedudukan sebagai alat bukti.
Pengakuan sebagai pembebasan wajib bukti,
Putusan Mahkamah Agung Nomor 858 K/SIP/1971, tanggal 27 Oktober 1971 melahirkah kaidah hukum “dengan adanya pengakuan dari Tergugat dalam penjelasan di persidangan pengadilan, maka pihak Pengugat tidak perlu dibebani kewajiban untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya. Sehingga gugatan dapat diajukan oleh Hakim atas dasar “bukti pengakuan tergugat” tersebut.”
Menurut Yahya Harahap, sepanjang yang diakui, tidak perlu dibuktikan lagi dengan alat bukti lain, oleh karena itu pengakuan tersebut bukan alat bukti tetapi merupakan keadaan yang membebaskan pihak dari pembuktin dari hal-hal yang diakui. R.Subekti mengemukakan bahwa apabila dalil-dalil yang dikemukakan oleh suatu pihak diakui oleh pihak lawan, maka pihak yang mengemukakan dalil-dalil itu tidak usah membuktikannya.
Adagium hukum yang menyatakan “Reo negateactori incumbit probatio” jika Tergugat tidak mengakui gugatan, maka penggugat harus membuktikan, di intrepretasi secara “a contrario” maka di maknai dengan frasa jika gugatan diakui Tergugat maka Penggugat tidak perlu membuktikan, dengan demikian pengakuan berkedudukan sebagai pembebasan wajib bukti.
Pengakuan sebagai pembatasan sengketa.
Pengakuan diperoleh pada tahap jawab-menjawab maka hakim akan memilah dalil mana yang diakui dan dalil mana yang di bantah, pengakuan dari pihak terhadap apa yang didalilkan pihak lawan diartikan bahwa pihak telah menyingkirkan hal yang diakui dari pemeriksaan Hakim, karena dalil-dalil yang diakui pihak tidak dianggap sengketa lagi, sehingga kedudukan pengakuan sebagai pembatasan sengketa pada pemeriksan perkara bagi Hakim.
Pengakuan sebagai penyelesaian sengketa.
Bahwa jika segala dalil gugatan telah diakui oleh pihak maka tentunya tidak ada lagi sengketa diatara keduanya dengan demikian perkara telah selesai, adagium hukum menyatakan “perdamaian adalah hukum diatas segalanya”. Menurut Martha Eri Safira, M.H, pada prinsipnya pemeriksaan perkara sudah berakhir apabila salah satu pihak memberikan pengakuan yang bersifat menyeluruh terhadap materi pokok perkara. Apabila Tergugat mengakui secara murni dan bulat atas materi pokok yang didalilkan Penggugat, dianggap perkara yang disengketakan telah selesai, karena hubungan hukum para pihak dipastikan telah selesai dengan pengkuan.
Alasan-alasan penulis mendudukkan pengakuan secara murni dan bulat sebagai penyelesaian sengketa dan bukan mendudukkan sebagai alat bukti atau tidak menyatakan “bahwa dengan pengakuan maka gugatan telah terbukti sehingga perkara dapat diputus/selesai”, adalah sebagai berikut: pertama, bahwa pengakuan secara murni dan bulat diperoleh pada acara jawab-menjawab, tidak pada acara pembuktian, sehingga tidak logis ketika suatu perkara diputus dengan berdasar pada pengakuan murni dan bulat dinyatakan dalil-dalil gugatan telah terbukti, padahal tahap acara pembuktian belum ditempuh, analoginya adalah apakah patut jika dinyatakan mediasi berhasil damai padahal mediasi belum dilaksanakan? Saya pikir tentu tidak, karena bagi penulis setiap acara pada persidangan terdapat hasil yang berbeda dengan yang lainnya. Merujuk pada defenisi alat bukti adalah sesuatu yang diajukan oleh pihak pada acara pembuktian di persidangan untuk membenarkan/mendukung dalil tentang telah terjadinya suatu peristiwa dan atau tentang adanya suatu hak, dengan demikian secara formil terbukti benarnya suatu peristiwa/fakta, terbukti adanya hak atau terbukti dalil-dalil gugatan Penguggat, setelah alat bukti dapat membuktikannya pada acara pembuktian. Jika suatu pengakuan secara murni dan bulat diperoleh pada acara jawab-menjawab tentunya bukan hasil dari proses diacara pembuktian sehingga tidak disebut dalil-dalil telah terbukti melainkan pengakuan tersebut mengakhiri sengketa/tidak ada lagi sengketa diantara pihak yang menjadi dasar untuk memutus perkara. Alasan yang kedua, bahwa selasainya perkara dengan penjatuhan putusan Hakim tidak mesti karena sebab dalil terbukti, tetapi bisa karena sebab penasehatan, atau karena sebab mediasi, atau karena sebab pengakuan.
Karena pengakuan memiliki kedudukan dan peran yang “urgen” dan menentukan pada proses acara perdata, baik pada acara jawab-menjawab/replik-dupluk, dan acara pembuktian untuk dasar penjatuhan keputusan Hakim, maka penting pula diperhatikan pengakuan yang dilarang oleh hukum. Hal ini bertujuan mencegah terjadinya konspirasi atas perkara yang sedang disengketakan. Betul sifat hukum perdata dan hukum acara perdata adalah bahwa kehendak kedua pihak adalah penting, artinya tergantung kehendak para pihaklah suatu hak perdata akan dilaksanakan atau tidak akan tetapi tidak boleh diartikan kedua belah pihak dapat bersengkongkol bersama-sama memperkosa hukum yang berlaku.
Adapun larangan pengakuan dalam hukum menurut Yahya Harahap adalah mengenai; 1. Kedudukan seseorang dalam hukum. 2, hak atas warisan yang belum terbuka; dan 3, menempatkan seseorang dibawah perwalian. Selain mengenai tiga hal diatas saya memasukkan/menambahkan satu hal lagi yaitu, mengenai harta bersama “gono gini” dengan berdasar pada hal-hal sebagai berikut; bahwa pengakuan pada sengketa harta bersama “gono gini” dapat menyalahi defenisi pengakuan, dengan kata lain tidak memenuhi salah satu unsur konsep/ciri pengakuan yaitu pelepasan hak, artinya dengan mengakui dalil dari pihak lain maka pihak yang mengaku merelakan haknya untuk pihak lain, tetapi ini tidak berlaku pada sengketa harta bersama “gono gini” karena dengan pengakuan salah satu pihak malah secara bersama-sama kedua pihak mendapatkan hak. Selanjutnya bahwa pengakuan pada harta bersama “gono gini” berpotensi merugikan pihak ketiga, ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2016).
Kesimpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan hasil analisa dan kajian, maka saya disimpulkan bahwa :
1. Prinsip umum pengakuan yang harus dipenuhi sehingga dapat dikualifikasi/diterima sebagai pengakuan, yaitu : 1. Prinsip kesukarelaan, 2. Prinsip Konsistensi, 3. Prinsip Relevansi, dan 4. Prinsip Kepastian Hukum
2. Esensi pengakuan dalam hukum acara perdata adalah : 1. Sebagai alat bukti, 2. Sebagai pembebasan wajib bukti, 3. Sebagai pembatasan sengketa, dan 4. Sebagai penyelesaian sengketa
3. Pengakuan dilarang mengenai : 1. Kedudukan seseorang dalam hukum, 2. Hak atas warisan yang belum terbuka, 3. Menempatkan seseorang dibawah perwalian, dan 4. Mengenai sengketa harta bersama "gono gini".
Berdasarkan kesimpulan diatas maka direkomendasikan sebagai berikut:
1. Menilai suatu pengakuan penting diperhatikan terpenuhinya prinsip-prinsip umum hukum yang ditarik sebagai syarat pengakuan tersebut, memiliki nilai kekuatan.
2. Pengakuan kerap menjadi dasar penjatuhan putusan. Oleh karena itu perlu dipahami esensi pengakuan pada acara perdata sebagai kunci sukses di ruang Peradilan saat menerima, memeriksa dan memutus perkara.
3. Perlu diketahui, larangan-larangan mengenai pengakuan agar hukum pembuktian tidak menjadi celah hukum bagi pihak-pihak yang ingin mendapatkan kepentingannya secara tidak sah.